Selasa, 22 April 2014

Kerajaan Samudra Pasai



1. SEJARAH

Kerajaan Samudera Pasai terletak di Aceh, dan merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia. Kerajaan ini didirikan oleh Meurah Silu pada tahun 1267 M. Bukti-bukti arkeologis keberadaan kerajaan ini adalah ditemukannya makam raja-raja Pasai di kampung Geudong, Aceh Utara. Makam ini terletak di dekat reruntuhan bangunan pusat kerajaan Samudera di desa Beuringin, kecamatan Samudera, sekitar 17 km sebelah timur Lhokseumawe. Di antara makam raja-raja tersebut, terdapat nama Sultan Malik al-Saleh, Raja Pasai pertama. Malik al-Saleh adalah nama baru Meurah Silu setelah ia masuk Islam, dan merupakan sultan Islam pertama di Indonesia. Berkuasa lebih kurang 29 tahun (1297-1326 M). Kerajaan Samudera Pasai merupakan gabungan dari Kerajaan Pase dan Peurlak, dengan raja pertama Malik al-Saleh.

Seorang pengembara Muslim dari Maghribi, Ibnu Bathutah sempat mengunjungi Pasai tahun 1346 M. ia juga menceritakan bahwa, ketika ia di Cina, ia melihat adanya kapal Sultan Pasai di negeri Cina. Memang, sumber-sumber Cina ada menyebutkan bahwa utusan Pasai secara rutin datang ke Cina untuk menyerahkan upeti. Informasi lain juga menyebutkan bahwa, Sultan Pasai mengirimkan utusan ke Quilon, India Barat pada tahun 1282 M. Ini membuktikan bahwa Pasai memiliki relasi yang cukup luas dengan kerajaan luar

Pada masa jayanya, Samudera Pasai merupakan pusat perniagaan penting di kawasan itu, dikunjungi oleh para saudagar dari berbagai negeri, seperti Cina, India, Siam, Arab dan Persia. Komoditas utama adalah lada. Sebagai bandar perdagangan yang besar, Samudera Pasai mengeluarkan mata uang emas yang disebut dirham. Uang ini digunakan secara resmi di kerajaan tersebut. Di samping sebagai pusat perdagangan, Samudera Pasai juga merupakan pusat perkembangan agama Islam.

Seiring perkembangan zaman, Samudera mengalami kemunduran, hingga ditaklukkan oleh Majapahit sekitar tahun 1360 M. Pada tahun 1524 M ditaklukkan oleh kerajaan Aceh.

2. SILSILAH

1. Sultan Malikul Saleh (1267-1297 M)
2. Sultan Muhammad Malikul Zahir (1297-1326 M)
3. Sultan Mahmud Malik Az-Zahir (1326 ± 1345
4. Sultan Malik Az-Zahir (?- 1346)
5. Sultan Ahmad Malik Az-Zahir yang memerintah (ca. 1346-1383)
6. Sultan Zain Al-Abidin Malik Az-Zahir yang memerintah (1383-1405)
7. Sultanah Nahrasiyah, yang memerintah (1405-1412)
8. Sultan Sallah Ad-Din yang memerintah (ca.1402-?)
9. Sultan yang kesembilan yaitu Abu Zaid Malik Az-Zahir (?-1455)
10.Sultan Mahmud Malik Az-Zahir, memerintah (ca.1455-ca. 1477)
11.Sultan Zain Al-‘Abidin, memerintah (ca.1477-ca.1500)
12.Sultan Abdullah Malik Az-Zahir, yang memerintah (ca.1501-1513)
13.Sultan Zain Al’Abidin, yang memerintah tahun 1513-1524

3. PERIODE PEMERINTAHAN

Rentang masa kekuasan Samudera Pasai berlangsung sekitar 3 abad, dari abad ke-13 hingga 16 M.

4. WILAYAH KEKUASAAN

Wilayah kekuasaan Pasai mencakup wilayah Aceh ketika itu.

5. STRUKTUR PEMERINTAHAN

Pimpinan tertinggi kerajaan berada di tangan sultan yang biasanya memerintah secara turun temurun. disamping terdapat seorang sultan sebagai pimpinan kerajaan, terdapat pula beberapa jabatan lain, seperti Menteri Besar (Perdana Menteri atau Orang Kaya Besar), seorang Bendahara, seorang Komandan Militer atau Panglima Angkatan laut yang lebih dikenal dengan gelar Laksamana, seorang Sekretaris Kerajaan, seorang Kepala Mahkamah Agama yang dinamakan Qadi, dan beberapa orang Syahbandar yang mengepalai dan mengawasi pedagang-pedagang asing di kota-kota pelabuhan yang berada di bawah pengaruh kerajaan itu. Biasanya para Syahbandar ini juga menjabat sebagai penghubung antara sultan dan pedagang-pedagang asing.

Selain itu menurut catatan M.Yunus Jamil, bahwa pejabat-pejabat Kerajaan Islam Samudera Pasai terdiri dari orang-orang alim dan bijaksana. Adapun nama-nama dan jabatan-jabatan mereka adalah sebagai berikut:


1. Seri Kaya Saiyid Ghiyasyuddin, sebagai Perdana Menteri.
2. Saiyid Ali bin Ali Al Makaarani, sebagai Syaikhul Islam.
3. Bawa Kayu Ali Hisamuddin Al Malabari, sebagai Menteri Luar Negeri

6. KEHIDUPAN POLITIK

Kerajaan Samudra Pasai yang didirikan oleh Marah Silu bergelar Sultan Malik al- Saleh, sebagai raja pertama yang memerintah tahun 1285 – 1297. Pada masa pemerintahannya, datang seorang musafir dari Venetia (Italia) tahun 1292 yang bernama Marcopolo, melalui catatan perjalanan Marcopololah maka dapat diketahui bahwa raja Samudra Pasai bergelar Sultan. Setelah Sultan Malik al-Saleh wafat, maka pemerintahannya digantikan oleh keturunannya yaitu Sultan Muhammad yang bergelar Sultan Malik al-Tahir I (1297 – 1326). Pengganti dari Sultan Muhammad adalah Sultan Ahmad yang juga bergelar Sultan Malik al-Tahir II (1326 – 1348). 
Pada masa ini pemerintahan Samudra Pasai berkembang pesat dan terus menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan Islam di India maupun Arab. Bahkan melalui catatan kunjungan Ibnu Batutah seorang utusan dari Sultan Delhi tahun 1345 dapat diketahui Samudra Pasai merupakan pelabuhan yang penting dan istananya disusun dan diatur secara India dan patihnya bergelar Amir. 
Pada masa selanjutnya pemerintahan Samudra Pasai tidak banyak diketahui karena pemerintahan Sultan Zaenal Abidin yang juga bergelar Sultan Malik al-Tahir III kurang begitu jelas. Menurut sejarah Melayu, kerajaan Samudra Pasai diserang oleh kerajaan Siam. Dengan demikian karena tidak adanya data sejarah yang lengkap, maka runtuhnya Samudra Pasai tidak diketahui secara jelas. Dari penjelasan di atas, apakah Anda sudah paham? Kalau sudah paham simak uraian materi berikutnya.

7. KEHIDUPAN EKONOMI

Dengan letaknya yang strategis, maka Samudra Pasai berkembang sebagai kerajaan Maritim, dan bandar transito. Dengan demikian Samudra Pasai menggantikan peranan Sriwijaya di Selat Malaka.
Kerajaan Samudra Pasai memiliki hegemoni (pengaruh) atas pelabuhan-pelabuhan penting di Pidie, Perlak, dan lain-lain. Samudra Pasai berkembang pesat pada masa pemerintahan Sultan Malik al-Tahir II. Hal ini juga sesuai dengan keterangan Ibnu Batulah.



Komoditi perdagangan dari Samudra yang penting adalah lada, kapurbarus dan emas. Dan untuk kepentingan perdagangan sudah dikenal uang sebagai alat tukar yaitu uang emas yang dinamakan Deureuham (dirham). 

8. KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA

Telah disebutkan di muka bahwa, Pasai merupakan kerajaan besar, pusat perdagangan dan perkembangan agama Islam. Sebagai kerajaan besar, di kerajaan ini juga berkembang suatu kehidupan yang menghasilkan karya tulis yang baik. Sekelompok minoritas kreatif berhasil memanfaatkan huruf Arab yang dibawa oleh agama Islam, untuk menulis karya mereka dalam bahasa Melayu. Inilah yang kemudian disebut sebagai bahasa Jawi, dan hurufnya disebut Arab Jawi. 


Di antara karya tulis tersebut adalah Hikayat Raja Pasai (HRP). Bagian awal teks ini diperkirakan ditulis sekitar tahun 1360 M. HRP menandai dimulainya perkembangan sastra Melayu klasik di bumi nusantara. Bahasa Melayu tersebut kemudian juga digunakan oleh Syaikh Abdurrauf al-Singkili untuk menuliskan buku-bukunya.

Sejalan dengan itu, juga berkembang ilmu tasawuf. Di antara buku tasawuf yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu adalah Durru al-Manzum, karya Maulana Abu Ishak. Kitab ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Makhdum Patakan, atas permintaan dari Sultan Malaka. Informasi di atas menceritakan sekelumit peran yang telah dimainkan oleh Samudera Pasai dalam posisinya sebagai pusat tamadun Islam di Asia Tenggara pada masa itu.

KERAJAAN ACEH DARUSSALAM 407 TAHUN ( 1496 – 1903 M )

Kerajaan Aceh Darussalam berdiri menjelang keruntuhan Samudera Pasai. Sebagaimana tercatat dalam sejarah, pada tahun 1360 M, Samudera Pasai ditaklukkan oleh Majaphit, dan sejak saat itu, kerajaan Pasai terus mengalami kemudunduran. Diperkirakan, menjelang berakhirnya abad ke-14 M, kerajaan Aceh Darussalam telah berdiri dengan penguasa pertama Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil Awal 913 H (1511 M) . Pada tahun 1524 M, Mughayat Syah berhasil menaklukkan Pasai, dan sejak saat itu, menjadi satu-satunya kerajaan yang memiliki pengaruh besar di kawasan tersebut. Bisa dikatakan bahwa, sebenarnya kerajaan Aceh ini merupakan kelanjutan dari Samudera Pasai untuk membangkitkan dan meraih kembali kegemilangan kebudayaan Aceh yang pernah dicapai sebelumnya.
Pada awalnya, wilayah kerajaan Aceh ini hanya mencakup Banda Aceh dan Aceh Besar yang dipimpin oleh ayah Ali Mughayat Syah. Ketika Mughayat Syah naih tahta menggantikan ayahnya, ia berhasil memperkuat kekuatan dan mempersatukan wilayah Aceh dalam kekuasaannya, termasuk menaklukkan kerajaan Pasai. Saat itu, sekitar tahun 1511 M, kerajaan-kerajaan kecil yang terdapat di Aceh dan pesisir timur Sumatera seperti Peurelak (di Aceh Timur), Pedir (di Pidie), Daya (Aceh Barat Daya) dan Aru (di Sumatera Utara) sudah berada di bawah pengaruh kolonial Portugis. Mughayat Syah dikenal sangat anti pada Portugis, karena itu, untuk menghambat pengaruh Portugis, kerajaan-kerajaan kecil tersebut kemudian ia taklukkan dan masukkan ke dalam wilayah kerajaannya. Sejak saat itu, kerajaan Aceh lebih dikenal dengan nama Aceh Darussalam dengan wilayah yang luas, hasil dari penaklukan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya.
Sejarah mencatat bahwa, usaha Mughayat Syah untuk mengusir Portugis dari seluruh bumi Aceh dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang sudah berada di bawah Portugis berjalan lancar. Secara berurutan, Portugis yang berada di daerah Daya ia gempur dan berhasil ia kalahkan. Ketika Portugis mundur ke Pidie, Mughayat juga menggempur Pidie, sehingga Portugis terpaksa mundur ke Pasai. Mughayat kemudian melanjutkan gempurannya dan berhasil merebut benteng Portugis di Pasai.
Kemenangan yang berturut-turut ini membawa keuntungan yang luar biasa, terutama dari aspek persenjataan. Portugis yang kewalahan menghadapi serangan Aceh banyak meninggalkan persenjataan, karena memang tidak sempat mereka bawa dalam gerak mundur pasukan. Senjata-senjata inilah yang digunakan kembali oleh pasukan Mughayat untuk menggempur Portugis.
Ketika benteng di Pasai telah dikuasai Aceh, Portugis mundur ke Peurelak. Namun, Mughayat Syah tidak memberikan kesempatan sama sekali pada Portugis. Peurelak kemudian juga diserang, sehingga Portugis mundur ke Aru. Tak berapa lama, Aru juga berhasil direbut oleh Aceh hingga akhirnya Portugis mundur ke Malaka. Dengan kekuatan besar, Aceh kemudian melanjutkan serangan untuk mengejar Portugis ke Malaka dan Malaka berhasil direbut. Portugis melarikan diri ke Goa, India. Seiring dengan itu, Aceh melanjutkan ekspansinya dengan menaklukkan Johor, Pahang dan Pattani. Dengan keberhasilan serangan ini, wilayah kerajaan Aceh Darussalam mencakup hampir separuh wilayah pulau Sumatera, sebagian Semenanjung Malaya hingga Pattani.
Demikianlah, walaupun masa kepemimpinan Mughayat Syah relatif singkat, hanya sampai tahun 1528 M, namun ia berhasil membangun kerajaan Aceh yang besar dan kokoh. Ali Mughayat Syah juga meletakkan dasar-dasar politik luar negeri kerajaan Aceh Darussalam, yaitu: (1) mencukupi kebutuhan sendiri, sehingga tidak bergantung pada pihak luar; (2) menjalin persahabatan yang lebih erat dengan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara; (3) bersikap waspada terhadap negara kolonial Barat; (4) menerima bantuan tenaga ahli dari pihak luar; (5) menjalankan dakwah Islam ke seluruh kawasan nusantara. Sepeninggal Mughayat Syah, dasar-dasar kebijakan politik ini tetap dijalankan oleh penggantinya.
Dalam sejarahnya, Aceh Darussalam mencapai masa kejayaan di masa Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1590-1636). Pada masa itu, Aceh merupakan salah satu pusat perdagangan yang sangat ramai di Asia Tenggara. Kerajaan Aceh pada masa itu juga memiliki hubungan diplomatik dengan dinasti Usmani di Turki, Inggris dan Belanda. Pada masa Iskandar Muda, Aceh pernah mengirim utusan ke Turki Usmani dengan membawa hadiah. Kunjungan ini diterima oleh Khalifah Turki Usmani dan ia mengirim hadiah balasan berupa sebuah meriam dan penasehat militer untuk membantu memperkuat angkatan perang Aceh.
Hubungan dengan Perancis juga terjalin dengan baik. Pada masa itu, Perancis pernah mengirim utusannya ke Aceh dengan membawa hadiah sebuah cermin yang sangat berharga. Namun, cermin ini ternyata pecah dalam perjalanan menuju Aceh. Hadiah cermin ini tampaknya berkaitan dengan kegemaran Sultan Iskandar Muda pada benda-benda berharga. Saat itu, Iskandar Muda merupakan satu-satunya raja Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen (Aula Kaca) di istananya yang megah, Istana Dalam Darud Dunya. Konon, menurut utusan Perancis tersebut, luas istana Aceh saat itu tak kurang dari dua kilometer. Di dalam istana tersebut, juga terdapat ruang besar yang disebut Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah, dan aliran sungai Krueng yang telah dipindahkan dari lokasi asal alirannya.
Sebelum Iskandar Muda berkuasa, sebenarnya juga telah terjalin hubungan baik dengan Ratu Elizabeth I dan penggantinya, Raja James dari Inggris. Bahkan, Ratu Elizabeth pernah mengirim utusannya, Sir James Lancaster dengan membawa seperangkat perhiasan bernilai tinggi dan surat untuk meminta izin agar Inggris diperbolehkan berlabuh dan berdagang di Aceh. Sultan Aceh menjawab positif permintaan itu dan membalasnya dengan mengirim seperangkat hadiah, disertai surat yang ditulis dengan tinta emas. Sir James Lancaster sebagai pembawa pesan juga dianugerahi gelar Orang Kaya Putih sebagai penghormatan. Berikut ini cuplikan surat Sulta Aceh pada Ratu Inggris bertarikh 1585 M:
I am the mighty ruler of the Regions below the wind, who holds sway over the land of Aceh and over the land of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the sunrise to the sunset.
(Hambalah Sang Penguasa Perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh, tanah Sumatera dan seluruh wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam).
Ketika Raja James berkuasa di Inggris, ia pernah mengirim sebuah meriam sebagai hadiah kepada sultan Aceh. Hubungan ini memburuk pada abad ke 18, karena nafsu imperialisme Inggris untuk menguasai kawasan Asia Tenggara. Selain itu, Aceh juga pernah mengirim utusan yang dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid ke Belanda, di masa kekuasaan Pangeran Maurits, pendiri dinasti Oranye. Dalam kunjungan tersebut, Abdul Hamid meninggal dunia dan dimakamkan di pekarangan sebuah gereja dengan penuh penghormatan, dihadiri oleh para pembesar Belanda. Saat ini, di makam tersebut terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Pangeran Bernhard, suami Ratu Juliana.
Ketika Iskandar Muda meninggal dunia tahun 1636 M, yang naik sebagai penggantinya adalah Sultan Iskandar Thani Ala‘ al-Din Mughayat Syah (1636-1641M). Di masa kekuasaan Iskandar Thani, Aceh masih berhasil mempertahankan masa kejayaannya. Penerus berikutnya adalah Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam (1641-1675 M), putri Iskandar Muda dan permaisuri Iskandar Thani. Hingga tahun 1699 M, Aceh secara berturut-turut dipimpin oleh empat orang ratu. Di masa ini, kerajaan Aceh sudah mulai memasuki era kemundurannya. Salah satu penyebabnya adalah terjadinya konflik internal di Aceh, yang disebabkan penolakan para ulama Wujudiyah terhadap pemimpin perempuan. Para ulama Wujudiyah saat itu berpandangan bahwa, hukum Islam tidak membolehkan seorang perempuan menjadi pemimpin bagi laki-laki. Kemudian terjadi konspirasi antara para hartawan dan uleebalang, dan dijustifikasi oleh pendapat para ulama yang akhirnya berhasil memakzulkan Ratu Kamalat Syah. Sejak saat itu, berakhirlah era sultanah di Aceh.
Memasuki paruh kedua abad ke-18, Aceh mulai terlibat konflik dengan Belanda dan Inggris yang memuncak pada abad ke-19. Pada akhir abad ke-18 tersebut, wilayah kekuasaan Aceh di Semenanjung Malaya, yaitu Kedah dan Pulau Pinang dirampas oleh Inggris. Pada tahun 1871 M, Belanda mulai mengancam Aceh atas restu dari Inggris, dan pada 26 Maret 1873 M, Belanda secara resmi menyatakan perang terhadap Aceh. Dalam perang tersebut, Belanda gagal menaklukkan Aceh. Pada tahun 1883, 1892 dan 1893 M, perang kembali meletus, namun, lagi-lagi Belanda gagal merebaut Aceh. Pada saat itu, Belanda sebenarnya telah putus asa untuk merebut Aceh, hingga akhirnya, Snouck Hurgronye, seorang sarjana dari Universitas Leiden, menyarankan kepada pemerintahnya agar mengubah fokus serangan, dari sultan ke ulama. Menurutnya, tulang punggung perlawanan rakyat Aceh adalah para ulama, bukan sultan. Oleh sebab itu, untuk melumpuhkan perlawanan rakyat Aceh, maka serangan harus diarahkan kepada para ulama. Saran ini kemudian diikuti oleh pemerintah Belanda dengan menyerang basis-basis para ulama, sehingga banyak masjid dan madrasah yang dibakar Belanda.
Saran Snouck Hurgronye membuahkan hasil: Belanda akhirnya sukses menaklukkan Aceh. J.B. van Heutsz, sang panglima militer, kemudian diangkat sebagai gubernur Aceh. Pada tahun 1903, kerajaan Aceh berakhir seiring dengan menyerahnya Sultan M. Dawud kepada Belanda. Pada tahun 1904, hampir seluruh Aceh telah direbut oleh Belanda. Walaupun demikian, sebenarnya Aceh tidak pernah tunduk sepenuhnya pada Belanda. Perlawanan yang dipimpin oleh tokoh-tokoh masyarakat tetap berlangsung. Sebagai catatan, selama perang Aceh, Belanda telah kehilangan empat orang jenderalnya yaitu: Mayor Jenderal J.H.R Kohler, Mayor Jenderal J.L.J.H. Pel, Demmeni dan Jenderal J.J.K. De Moulin.
Kekuasaan Belanda berlangsung hampir setengah abad, dan berakhir seiring dengan masuknya Jepang ke Aceh pada 9 Februari 1942. Saat itu, kekuatan militer Jepang mendarat di wilayah Ujong Batee, Aceh Besar. Kedatangan mereka disambut oleh tokoh-tokoh pejuang Aceh dan masyarakat umum. Hubungan baik dengan Jepang tidak berlangsung lama. Ketika Jepang mulai melakukan pelecehan terhadap perempuan Aceh dan memaksa masyarakat untuk membungkuk pada matahari terbit, maka, saat itu pula mulai timbul perlawanan. Di antara tokoh yang dikenal gigih melawan Jepang adalah Teungku Abdul Jalil. Kekuasaan para penjajah berakhir ketika Indonesia merdeka dan Aceh bergabung ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
2. Silsilah
Berikut ini daftar para sultan yang pernah berkuasa di kerajaan Aceh Darussalam:
1. Sultan Ali Mughayat Syah (1496-1528 M)
2. Sultan Salahuddin (1528-1537).
3. Sultan Ala‘ al-Din al-Kahhar (1537-1568).
4. Sultan Husein Ali Riayat Syah (1568-1575)
5. Sultan Muda (1575)
6. Sultan Sri Alam (1575-1576).
7. Sultan Zain al-Abidin (1576-1577).
8. Sultan Ala‘ al-Din Mansur Syah (1577-1589)
9. Sultan Buyong (1589-1596)
10. Sultan Ala‘ al-Din Riayat Syah Sayyid al-Mukammil (1596-1604).
11. Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607)
12. Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1607-1636).
13. Iskandar Thani (1636-1641).
14. Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam/Paduka Sri Sultanah Ratu Safiatuddin Tajul-’Alam Shah Johan Berdaulat Zillu’llahi fi’l-’Alam binti al-Marhum Sri Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Shah(1641-1675).
15. Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam/Sultanah Nurul Alam Naqiyatuddin Syah (1675-1678)
16. Sri Ratu Zaqi al-Din Inayat Syah/Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah(1678-1688)
17. Sri Ratu Kamalat Syah Zinat al-Din/Sultanah Zinatuddin Kamalat Syah (1688-1699)
18. Sultan Badr al-Alam Syarif Hashim Jamal al-Din (1699-1702)
19. Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui (1702-1703)
20. Sultan Jamal al-Alam Badr al-Munir (1703-1726)
21. Sultan Jauhar al-Alam Amin al-Din (1726)
22. Sultan Syams al-Alam (1726-1727)
23. Sultan Ala‘ al-Din Ahmad Syah (1727-1735)
24. Sultan Ala‘ al-Din Johan Syah (1735-1760)
25. Sultan Mahmud Syah (1760-1781)
26. Sultan Badr al-Din (1781-1785)
27. Sultan Sulaiman Syah (1785-…)
28. Alauddin Muhammad Daud Syah.
29. Sultan Ala‘ al-Din Jauhar al-Alam (1795-1815) dan (1818-1824)
30. Sultan Syarif Saif al-Alam (1815-1818)
31. Sultan Muhammad Syah (1824-1838)
32. Sultan Sulaiman Syah (1838-1857)
33. Sultan Mansur Syah (1857-1870)
34. Sultan Mahmud Syah (1870-1874)
35. Sultan Muhammad Daud Syah (1874-1903)
Catatan: Sultan Ala‘ al-Din Jauhar al-Alam (sultan ke-29) berkuasa pada dua periode yang berbeda, diselingi oleh periode Sultan Syarif Saif al-Alam (1815-1818).
3. Periode Pemerintahan
Kerajaan Aceh Darussalam berdiri sejak akhir abad ke-15 hingga awal abad ke-20 M. Dalam rentang masa empat abad tersebut, telah berkuasa 35 orang sultan dan sultanah.
4. Wilayah kekuasaan
Di masa kejayaannya, wilayah kerajaan Aceh Darussalam mencakup sebagian pulau Sumatera, sebagian Semenanjung Malaya dan Pattani.
5. Struktur pemerintahan
Pada masa Sultan Ala‘ al-Din Mansur Syah (1577-1589) berkuasa, kerajaan Aceh sudah memiliki undang-undang yang terangkum dalam kitab Kanun Syarak Kerajaan Aceh. Undang-undang ini berbasis pada al-Quran dan hadits yang mengikat seluruh rakyat dan bangsa Aceh. Di dalamnya, terkandung berbagai aturan mengenai kehidupan bangsa Aceh, termasuk syarat-syarat pemilihan pegawai kerajaan. Namun, fakta sejarah menunjukkan bahwa, walaupun Aceh telah memiliki undang-undang, ternyata belum cukup untuk menjadikannya sebagai sebuah kerajaan konstitusional.
Dalam struktur pemerintahan Aceh, sultan merupakan penguasa tertinggi yang membawahi jabatan struktural lainnya. Di antara jabatan struktural lainnya adalah uleebalang yang mengepalai unit pemerintahan nanggroe (negeri), panglima sagoe (panglima sagi) yang memimpin unit pemerintahan Sagi, Kepala Mukim yang menjadi pimpinan unit pemerintahan mukim yang terdiri dari beberapa gampong, dan keuchiek atau geuchiek yang menjadi pimpinan pada unit pemerintahan gampong (kampung). Jabatan struktural ini mengurus masalah keduniaan (sekuler). Sedangkan pemimpin yang mengurus masalah keagamaan adalah tengku meunasah, imam mukim, kadli dan para teungku.
6. Kehidupan Sosial Budaya
a. agama
Dalam sejarah nasional Indonesia, Aceh sering disebut sebagai Negeri Serambi Mekah, karena Islam masuk pertama kali ke Indonesia melalui kawasan paling barat pulau Sumatera ini. Sesuai dengan namanya, Serambi Mekah, orang Aceh mayoritas beragama Islam dan kehidupan mereka sehari-hari sangat dipengaruhi oleh ajaran Islam ini. Oleh sebab itu, para ulama merupakan salah satu sendi kehidupan masyarakat Aceh. Selain dalam keluarga, pusat penyebaran dan pendidikan agama Islam berlangsung di dayah dan rangkang (sekolah agama). Guru yang memimpin pendidikan dan pengajaran di dayah disebut dengan teungku. Jika ilmunya sudah cukup dalam, maka para teungku tersebut mendapat gelar baru sebagai Teungku Chiek. Di kampung-kampung, urusan keagamaan masyarakat dipimpin oleh seseorang yang disebut dengan tengku meunasah.
Pengaruh Islam yang sangat kuat juga tampak dalam aspek bahasa dan sastra Aceh. Manuskrip-manuskrip terkenal peninggalan Islam di Nusantara banyak di antaranya yang berasal dari Aceh, seperti Bustanussalatin dan Tibyan fi Ma‘rifatil Adyan karangan Nuruddin ar-Raniri pada awal abad ke-17; kitab Tarjuman al-Mustafid yang merupakan tafsir Al Quran Melayu pertama karya Shaikh Abdurrauf Singkel tahun 1670-an; dan Tajussalatin karya Hamzah Fansuri. Peninggalan manuskrip tersebut merupakan bukti bahwa, Aceh sangat berperan dalam pembentukan tradisi intelektual Islam di Nusantara. Karya sastra lainnya, seperti Hikayat Prang Sabi, Hikayat Malem Diwa, Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, merupakan bukti lain kuatnya pengaruh Islam dalam kehidupan masyarakat Aceh.
b. Struktur sosial
Lapisan sosial masyarakat Aceh berbasis pada jabatan struktural, kualitas keagamaan dan kepemilikan harta benda. Mereka yang menduduki jabatan struktural di kerajaan menduduki lapisan sosial tersendiri, lapisan teratasnya adalah sultan, dibawahnya ada para penguasa daerah. Sedangkan lapisan berbasis keagamaan merupakan lapisan yang merujuk pada status dan peran yang dimainkan oleh seseorang dalam kehidupan keagamaan. Dalam lapisan ini, juga terdapat kelompok yang mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad. Mereka ini menempati posisi istimewa dalam kehidupan sehari-hari, yang laki-laki bergelar Sayyed, dan yang perempuan bergelar Syarifah. Lapisan sosial lainnya dan memegang peranan sangat penting adalah para orang kaya yang menguasai perdagangan, saat itu komoditasnya adalah rempah-rempah, dan yang terpenting adalah lada.
c. Kehidupan sehari-hari
Sebagai tempat tinggal sehari-hari, orang Aceh membangun rumah yang sering disebut juga dengan rumoh Aceh. Untuk mencukupi kebutuhan hidup, mereka bercocok tanam di lahan yang memang tersedia luas di Aceh. Bagi yang tinggal di kawasan kota pesisir, banyak juga yang berprofesi sebagai pedagang. Senjata tradisional orang Aceh yang paling terkenal adalah rencong, bentuknya menyerupai huruf L, dan bila dilihat dari dekat menyerupai tulisan kaligrafi bismillah. Senjata khas lainnya adalah Sikin Panyang, Klewang dan Peudeung oon Teubee.


Minggu, 09 Februari 2014

Sejarah Negara Uni Emirat Arab

Sejarah Negara Uni Emirat Arab
Geografi
Uni Emirat Arab , di bagian timur Semenanjung Arab , terbentang sepanjang bagian dari Teluk Oman dan pantai selatan Teluk Persia . Bangsa ini adalah ukuran Maine . Tetangganya yang Arab Saudi di barat dan selatan , Qatar ke utara , dan Oman di timur . Sebagian besar tanah yang tandus dan berpasir .
Pemerintah
Federasi yang dibentuk pada tahun 1971 oleh tujuh emirat yang dikenal sebagai Trucial Serikat – Abu Dhabi ( yang terbesar ) , Dubai , Sharjah , Ajman , Fujairah , Ras al-Khaimah , dan Umm al – Qaiwain . Selain presiden federal dan perdana menteri , masing-masing emirat memiliki penguasa yang terpisah yang mengawasi pemerintah daerah .
sejarah
Awalnya daerah itu dihuni oleh orang-orang pelaut yang masuk Islam pada abad ke-7 . Kemudian , sebuah sekte pembangkang , yang Carmathians , membentuk sheikdom kuat , dan tentaranya menaklukkan Mekah . Setelah sheikdom yang hancur , rakyatnya menjadi bajak laut . Mengancam Kesultanan Muscat dan Oman pada awal abad ke-19 , para perompak memicu intervensi dari Inggris, yang pada tahun 1820 diberlakukan gencatan senjata parsial dan pada tahun 1853 gencatan senjata permanen. Jadi apa yang telah disebut Pirate Coast berganti nama menjadi Pantai Trucial . Inggris memberikan sembilan negara Trucial dengan perlindungan tetapi tidak secara resmi mengurus mereka sebagai koloni .
Inggris menarik diri dari Teluk Persia pada tahun 1971 , dan negara-negara Trucial menjadi sebuah federasi yang disebut Uni Emirat Arab ( UEA ) . Dua dari negara Trucial , Bahrain dan Oman , memilih untuk tidak bergabung dengan federasi , mengurangi jumlah negara sampai tujuh .
Negara ini menandatangani perjanjian pertahanan militer dengan AS pada tahun 1994 dan satu dengan Perancis pada tahun 1995 .
Setelah serangan teroris 11 September di Amerika Serikat , UEA diidentifikasi sebagai pusat keuangan utama yang digunakan oleh al – Qaeda dalam mentransfer uang ke pembajak ( dua dari 9/11 pembajak adalah warga negara UEA ) . Bangsa ini segera bekerja sama dengan AS , pembekuan rekening terkait dengan tersangka teroris dan sangat keras atas pencucian uang .
Sheikh Zayed bin Sultan Al Nahyan , pendiri UEA dan penguasa federasi sejak 1971 , meninggal pada November 2004 . Putranya menggantikan dia . Pada Januari 2006 , Sheik Maktoum bin Rashid Al Maktoum , perdana menteri UEA dan emir Dubai , meninggal . Putra Mahkota Sheikh Muhammad bin Rashid al -Maktoum diasumsikan kedua peran .
Burj Khalifa , di Dubai , selesai pada bulan Januari 2010 dan menjadi bangunan tertinggi di dunia pada 2.716 kaki ( 828 meter ) dan 160 cerita . Ini berisi lift tercepat di dunia , 20,7 hektar dari kaca , dan diperkirakan menggunakan sekitar 250.000 galon air per hari .

Yaman

YAMAN
Negara Yaman adalah sebuah tempat pertumbuhan kebudayaan yang paling penting pernah tumbuh di Semenanjung Tanah Arab sebelum Agama Islam datang. Perkataan Yaman berasal dari perkataan “Yumn” yang bererti “berkata” (Yaqut : Mu’jamul Buldan pada kata “Yaman”. Lihat pada Encyclopedia of Islam artikel “Yaman”) Ianya dinamakan sedemikian, kerana di negara ini dikatakan banyak berkat dan kebaikannya. Negera Yaman juga tersangat makmur kerana tanahnya yang subur dan hujan pun lebih kerap turun di sana. Rakyat Yaman telah mendapat satu akal untuk membuat takungan-takungan air dan beberapa buah empangan. Mereka telah membuat empangan dan tempat takungan air ini adalah kerana dengan adanya empangan dan takungan air itu, air hujan dapat dipergunakan dengan baik sama ada untuk tujuan pertanian mahupun sebagai sistem perparitan;dan dari itu, kota-kota dan juga kampung-kampung serta tanaman mereka tidak lagi dilanda air bah di musim hujan. Rakyat Yaman juga pernah memegang peranan yang besar dalam sejarah pelancaran perdagangan antara timur dan barat. Sebaliknya, kerana faktor-faktor yang disebutkan itu yang telah menyebabkan keturunan mereka tidak murni lagi; antaranya bahasa mereka telah menjadi rosak, kerana datangnya kaum-kaum saudagar dari India, Sumatera, Tiongkok, Mesir dan Syria ke negera mereka yang tidak pernah luput dari dunia penjajahan, yang telah dilancarkan oleh negara-negara jiran yang lebih kuat dan yang mempunyai cita-cita untuk menjajah. Kerana kestabilan dan cara hidup yang makmur sebelum penjajahan, maka telah lahir di Yaman ini beberapa raja-raja purba yang mempunyai mahkota kekuasaan dan istana yang besar. Bila adanya seorang raja yang kuat, maka tunduklah seluruh negeri di Yaman itu kepadanya. Ianya dipatuhi oleh sekalian raja-raja yang lemah yang mengetuai wilayah wilayah kecil dan ketua-ketua daerah di seluruh daerah Yaman, bahkan Hadramaut pun tunduk kepadanya. Akan tetapi dimasa kekuasaanya lemah, Negara Yaman terbahagi kepada beberapa daerah yang kerap kali berperang dan bermusuh-musuhan. Diantara kerajaan-kerajaan penting yang pernah berdiri di Yaman ialah :Kerajaan Ma’in, Qutban, Saba’ dan Himyar.Kerajaan Ma’in telah wujud kira-kira tahun 1200 sebelum masehi, dan Kerajaan Qutban wujud kira-kira tahun 1000 sebelum Masehi. Kerajaan Qutban inilah yang jadi pengawal Selat Bab el Mandeb yang memisahkan Yaman dengan Sudan. Akan tetapi hanya sedikit fakta fakta mengenai kerajaan ini dikenal pasti. Akhirnya kedua-dua kerajaan ini telah roboh, dan di atas punca kerobohannya berdirilah kerajaan Saba’.
KERAJAAN SABA’
Kerajaan Saba’ mula berdiri pada tahun 950 S.M. Pada mulanya ia hanya berdiri sebagai satu kerajaan yang kecil saja; kemudian bertambah menjadi lebih besar dan meluas, sementara itu kerajaan Ma’in dan Qutban semakin kecil dan lemah, akhirnya roboh dan dipusakai kekuasaannya oleh kerajaan Saba’; bahkan Hadramaut pun digabungkan dengan Kerajaan Saba’ ini. Kerajaan Saba’ berdiri dengan megahnya pada tahun 115 S.M. Kemasyhuran Kerajaan Saba’ berpokok pangkal kerana dua sebab :
Ratunya yang terkenal bernama Ratu Balqis. Cerita mengenai Ratu Balqis ini yang dikaitkan dengan Nabi Allah Sulaiman dan burung hud hud telah disebut di dalam al Quran (surah An Naml 20-44, dan lihat pula at Thabari I:345 – 350).
Empangan Ma’Rib, iaitu satu empangan yang terkenal didalam sejarah dunia. Empangan ini telah dibina oleh arkitek arkitek purba Yaman yang sangat mahir dalam ilmu pembangunan. Empangan ini merupakan sebuah empangan raksasa yang dapat menakung air di antara dua buah gunung dengan kapasiti purata jutaan gelen sehari. Air itu dapat dipergunakan di waktu-waktu keperluan seperti menanam dan kegunaan harian. Dengan adanya empangan ini maka kampung-kampung, kebun-kebun dan tanam-tanaman yang berada di tanah-tanah rendah dapat dipelihara dari bahaya banjir yang kerapkali terjadi di musim-musim hujan.Empangan raksasa seperti ini tentu saja harus diawasi, dipelihara dan diperbaiki. Akan tetapi kerana Kerajaan Saba’ ini mengalami kelemahan pada saat akhirnya, maka tiadalah mereka mampu lagi memelihara dan memperbaikinya. Akhirnya empangan raksasa ini telah rosak dan tidak dapat lagi menahan takungan air banjir dan hujan, terutama air bah yang disebut “Sailul Arim” (banjir besar) yang diceritakan oleh Allah di dalam al Quran (surah Saba ayat 16).Sailul Arim ini telah menyebabkan kehidupan di Yaman mengalami perubahan yang amat besar. Penduduk Yaman terpaksa berkongsi bahagian utara Semenanjung Tanah Arab, kerana air bah yang besar itu telah melanda dan menenggelamkan negeri mereka. Inilah yang menyebabkan runtuhnya Kerajaan Saba’ dan bangunnya Kerajaan Himyar.
KERAJAAN HIMYAR
Kerajaan Himyar berdiri semenjak Kerajaan Saba’ mulai lemah. Kelemahan Kerajaan Saba’ memberi kesempatan bagi kerajaan Himyar untuk tumbuh dan berkembang dengan pesat hingga akhirnya Kerajaan Himyar dapat mempusakai Kerajaan Saba’.
Kekuasaan mereka telah pun menjadi besar. Diceritakan bahawa bala tentera mereka telah berjaya menjelajah sampai ke Iraq dan Bahrain.Akan tetapi, kerajaan ini akhirnya mengalami zaman kelemahannya pula. Mereka alpa untuk memperbaiki dan mengawasi empangan dan takungan air itu. Oleh kerana itu empangan dan takungan air itu telah mengalami kerosakan awal pada zaman Kerajaan Saba’ akibat air bah dan banjir, maka Empangan Ma’rib tidak dapat dipertahankan lagi. Empangan raksasa itu sekali lagi telah roboh. Kerobohan Empangan Ma’rib mengakibatkan sebahagian dari bumi mereka tidak mendapat bekalan air yang diperlukan lagi, sementara sebahagian yang lain karam di dalam banjir. Malapetaka ini telah menyebabkan mereka berduyun-duyun berkongsi bahagian utara Jazirah Arab.Oleh sebab itu, Yaman menjadi lemah. Dan kelemahannya itu telah membuka jalan bagi kerajaan-kerajaan Parsi dan Rom untuk campur tangan dalam urusan Negera Yaman dengan maksud hendak memiliki negera yang subur dan makmur itu. Kerajaan Saba’ dan Himyar juga telah banyak meninggalkan bekas-bekas dan peninggalan-peninggalan yang dapat menggambarkan kebesaran dan kemajuan yang telah dicapai oleh kerajaan-kerajaan itu di zaman dahulu. Kerajaan-kerajaan ini juga pernah mempunyai armada laut yang besar untuk membawa barang-barang perniagaan dari India, Tiongkok,Somalia dan Sumatera ke pelabuhan-pelabuhan Yaman. Perniagaan pada Lin(zaman) ini boleh dikatakan dimonopoli oleh mereka.Dari Yaman barang-barang perniagaan ini dibawa ke utara oleh kabilah-kabilah yang juga dikuasai oleh Yaman, iaitu sebelum pusat kabilah-kabilah ini berpindah ke Makkah seperti yang akan diterangkan nanti.
YAMAN TERJAJAH
Telah kita bayangkan di atas, bahwa kesuburan dan kemakmuran Negara Yaman, menyebabkan dua kerajaan imperialis besar di waktu itu, iaitu Kerajaan Parsi dan Rom, berlumba-lumba untuk menguasainya. Ada lagi sebab yang secara langsungnya telah mengakibatkan Negara Yaman itu menjadi mangsa negara Imperialis, iaitu pergolakan agama yang terjadi di negera itu sendiri. Seorang raja Yaman, iaitu Zu Nuas, menganut agama Yahudi. Tindakannya itu diikuti oleh sebahagian kaumnya. Di Najran iaitu bahagian utara Yaman telah tersebar agama Masehi. Zu Nuas merasa khuatir kalau-kalau pengaruh Kerajaan Rom dan Habsyl akan menjalar ke Yaman dengan perantaraan agama Masehi, apabila Negara Yaman di waktu itu (abad ke V Masehi) sedang mengalami zaman kelemahannya. Maka Zu Nuas memerintahkan kepada penduduk Najran supaya memilih antara dua, iaitu menganut agama Yahudi atau dibunuh mati. Penduduk Najran bertekad biar dibunuh mati dari pada menukar agama mereka dengan agama Yahudi. Maka diperintahkanlah oleh Zus Nuas untuk menggali sebuah parit. Penduduk Najran dibunuh dan dibakar oleh Zu Nuas didalam parit itu.Salah seorang dari mereka telah dapat melarikan diri dari seksaan itu dan orang ini telah pergi ke negeri Habsyl (Euthopia). Kepada pemerintah disana iaitu Negus yang juga menganut agama Masehi, dimintanya supaya menuntut bela bagi kaum Masehi, yang dibunuh dan dibakar hidup-hidup oleh Zu Nuas.Untuk ini, Kerajaan Habsyl telah bekerja sama dengan Kerajaan Rom. Kerajaan Rom telah menyediakan kapal-kapal yang diperlukan dan Kerajaan Habsyl pula telah menyediakan bala tentara.Kemudian mereka pergi menyerang Negara Yaman. Penyerangan-penyerangan telah beroleh kemenangan,dan Zu Nuas menderita kekalahan. Kemudian kudanya dipacu ke laut dengan tujuan membunuh diri dan karamlah dia di dalam laut itu.Dengan demikian jatuhlah Negara Yaman ke bawah kekuasaan Habsyl.Panglima bala tentara Habsyl bernama Aryath, dan pembantunya bernama Abrahah. Aryath telah dibunuh oleh Abrahah dan dengan demikian berpindahlah kekuasaan ke tangan Abrahah. Sesudah Abrahah meninggal dunia, kekuasaannya dipegang oleh anaknya yang bernama Yaksum, kemudian disambung oleh Masruq.Kerajaan Parsi tidak bersenang hati melihat Negara Yaman dijajah oleh bangsa Habsyl dan Rom itu. Akhirnya datanglah kesempatan baginya untuk campur tangan dalam urusan kenegaraan itu. Iaitu dikala salah seorang dari keturunan raja-raja Himyar namanya Saif bin ibnu Zi Yazin yang telah lari ke Parsi, untuk meminta pertolongan mengeluarkan bangsa Habsyl dari Yaman. Permintaan itu diperkenankan oleh Kisra (raja) Parsi. Dikirimnya bala tentara ke Yaman. Bala tentera Parsi ini berhasil melepaskan Yaman dari penjajahan bangsa Habsyl. Kemudian kedudukan bangsa Habsyl di Yaman digantikan oleh bangsa Parsi. Mereka mengambil alih kekuasaan bangsa Habsyl, sesudah Saif ibnu Yasin mati terbunuh, dan mereka kuasailah sepenuhnya Negara Yaman itu.Kisra mengangkat seorang Gabenor untuk memerintah di Yaman atas namanya.Di kala Muhammad SAW diutus menjadi Rasul, Gabenor di Yaman ialah Bazan. Dia hanya berpengaruh di Yaman saja. Banyak daerah-daerah yang lain di Yaman tidak dapat dipengaruhinya, hanya sekadar mempunyai raja-raja atau ketua-ketua dari bangsa Arab.Nabi Muhammad menyeru Bazan untuk menganut agama Islam, maka dianutinyalah agama ini.
KERAJAAN HIRAH DAN GHASSAN
Ada beberapa suku bangsa Arab yang menetap di bahagian Utara Jazirah Arab. Suku-suku bangsa ini kerapkali menggangu Kerajaan Parsi dan Rom. Kerapkali juga mereka melakukan serangan-serangan gerila, untuk merampas apa yang dapat mereka rampas. Kemudian rampasan itu mereka larikan kepedalaman Jazirah Arab. Tentara Parsi, begitu juga tentara Rom, tentu saja tidak sanggup mengejar mereka, terutama kerana jalan ke pedalaman amat sukar, dan air amat sukar dijumpai. Kerana itu Kerajaan Parsi dan Kerajaan Rom telah mengusahakan pembinaan satu hajiz (dinding) yang akan melindungi Negara Parsi dan Rom dari serangan-serangan itu. Untuk keperluan ini mereka telah mengumpulkan beberapa suku bangsa Arab yang telah mereka kenali, yang dahulunya berpindah dari Negara Yaman, lalu mereka ditempatkan di bahagian utara Jazirah Arab, yakni disebelah selatan Negara Parsi dan Rom. Kabilah-kabilah ini diperlengkapi dengan senjata dan diberi wang. Kabilah-kabilah ini mengenali dengan baik selok-belok dan simpang siur jalan-jalan serta seluruh liku-liku Jazirah Arab. Mereka sanggup pula menghambat serangan-serangan dari suku-suku bangsa Arab tersebut. Dengan demikian berdirilah Kerajaan Manadzirah di bawah perlindungan Kerajaan Parsi, yang kerajaan ini bertugas untuk melindungi Kerajaan Parsi itu sendiri. Di samping itu berdiri pula Kerajaan Ghassanah di bawah perlindungan Kerajaan Rom yang bertugas untuk melindungi Kerajaan Rom.
KERAJAAN HIRAH (MANADZIRAH)
Sejarah Keamiran Hirah ini mulai semenjak abad ketiga Masehi, dan terus berdiri sampai lahirnya agama Islam. Kerajaan ini telah berjasa juga terhadap kebudayaan Arab, kerana warganegaranya yang banyak bermusafir dan mengembara di seluruh tanah Jazirah Arab terutamanya untuk berniaga, dalam pada itu mereka juga menunjukkan kepandaian mereka dalam menulis dan membaca. Kerana itu mereka dapat dianggap sebagai penyiar ilmu pengetahuan di Jazirah Arab.Diantara raja-rajanya terkenal ialah: Umru ul Qais, Nu’man ibnu Umru ul Qais (yang mendirikan istana Khawarnaq dan istana Sadir di permulaan abad kelima Masehi), Mundzir ibnu Ma’is Sama’, Amr ibnu Hind (dikenal juga dengan nama “Amr ibnul Mundzir ibnu Ma’is Sama” yang bernama Hind (hindun) itu ialah ibunya) dan Mundzir ibnu Nu’man ibnul Mundzir. Mundzir ibnu Nu’man ibnul Mundzir inilah rajanya yang terakhir. Di masa pemerintahan raja inilah Khalid ibnul Walid memerangi Hirah, dan akhirnya negeri Hirah telah bergabung diri dan kekuasaan ke dalam pemerintahan Islam.
KERAJAAN GHASSAN (SHASASINAH)
Nama Ghasasinah itu telah diambil dari nama mata air di Syam yang iaitu Ghassan. Kaum Ghasasinah memerintah di bahagian selatan dari Negara Syam dan di bahagian utara dari Jazirah Arab. Mereka mempunyai kebudayaan yang tinggi, dan menganut agama Masehi yang diterimanya dari bangsa Rom dan merekalah yang berperanan memasukkan agama Masehi itu ke Jazirah Arab. Diantara raja-rajanya yang masyhur ialah: Jafnah ibnu ‘Amr, Arqam ibnu Tsa’labah, dan Jabalah ibnu Aiham. Jabalah ibnul Aiham inilah rajanya yang terakhir. Di masa pemerintahan Jabalah inilah terjadinya pertempuran Yarmuk dan masuknya agama Islam ke daerah ini. Menurut cerita, Jabalah ini telah memeluk agama Islam, akan tetapi kemudian dia murtad dan lari ke Negara Rom dalam suatu peristiwa masyhur yang terjadi di masa pemerintahan Umar Ibnul Khattab.Antara Kerajaan Mandzirah dengan Kerajaan Ghasasinah itu selalu terjadinya pergolakan, terutama disebabkan perselisihan tentang sempadan perkapalan, Kerajaan Manadzirah juga menjalankan politik yang dijalankan oleh kerajaan Parsi, sebagaimana Kerajaan Ghasasinah menjalankan politik yang dijalankan oleh Kerajaan Rom. Oleh kerana Kerajaan Parsi dengan Kerajaan Rom itu bermusuhan, maka terjadilah peperangan antara Kerajaan Parsi dan Kerajaan Rom, dan tentu saja Kerajaan Manadzirah berdiri di samping kerajaan Parsi dengan memberi pelbagai jenis bantuan.Oleh kerana raja-raja Kerajaan Hirah dan Ghassan itu adalah berketurunan Yaman, maka dalam soal bidang kebudayaan dan cara hidup, mereka masih lagi menjaga corak dan tradisi Yaman. Sebagai contoh yang dapat dikemukakan disini ialah dengan terbinanya dua buah istana besar yang didirikan oleh raja Hirah, dengan mencontohi istana-istana Yaman, iaitu yang terkenal dalam sejarah dengan nama “AlKhawarnaq”, dan “As Sadir”, yang telah disebutkan di atas.Jasa kerajaan-kerajaan ini yang terpenting ialah: mereka telah memegang peranan dalam menyiarkan pelbagai macam jenis kebudayaan Parsi dan Rom ke Jazirah Arab. Mereka laksana jambatan yang dilalui oleh iring-iringan kebudayaan dari Negara Parsi dan Rom dalam perjalanannya menuju ke Jazirah Arab.Diantara jenis-jenis kebudayaan itu ialah: agama, ilmu pengetahuan umum, penulisan dan bacaan, ilmu pengetahuan ketenteraan dan lain-lain.